Ritual Keagamaan

  1. Kebudayaan Dayak
    • a. Sistem Kepercayaan Nenek Moyang dalam Masyarakat Dayak

      Sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai‑nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari‑hari. Ini berlaku pula antara nilai‑nilai budaya itu dengan etnisitas (ethnicity) dalam masyarakat Dayak. Ini berarti bahwa kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari‑hari, sebagaimana disinyalir oleh beberapa Dayakolog (Coomans, 1987; Alqadrie, 1991b:1‑14) dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat atau hukum adat, tetapi juga dengan nilai‑nilai budaya dan etnisitas. Dengan demikian, respon mereka terhadap stimulus atau tekanan dari luar sering didasarkan pada kompleksitas unsur-unsur di atas.

             Kelompok etnik Dayak memiliki suatu sistem kepercayaan yang sangat komplek dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987a:60). Kompleksitas sistem kepercayaan berdasarkan tradisi dalam masyarakat Dayak mengandung dua hal prinsip yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang (anchestral belief) yang menekankan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie,1990b: 103).

             Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar (1988‑89:1‑2) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia dengan alam beserta isinya. Tuhan tertinggi yang satu (the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (divinity). Karakter yang satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi”, dan karakter lainnya tinggal “di bawah” atau yang “lebih rendah”. Orang Dayak percaya kedua karakter ini masing‑masing memuat sifat yang baik dan buruk.

            Kompleksnya sistem kepercayaan orang Dayak ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar, seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang‑barang keramik, mangkok dan tempayan yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun peng­gunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon atau dragon) yang melambangkan secara mitologis Tuhan ter­tinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Pengaruh ekstem lainnya berasal dari unsur Hinduisme dan Islamisme. Kedua unsur ini dapat ditemukan dalam istilah‑istilah ke­agamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan satu, seperti Mahatara yang mungkin berasal dari istilah dalam agama Hindu Maha Batara yang Berarti Tuhan Maha Besar, maupun Mahatala atau sering Lahatala/ Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta'alah dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolis diekspresikan oleh burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”............> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 20-22

            

      b. Sistem Kepercayaan dan Organisasi Sosial

      Unsur penting dalam organisasi sosial masyarakat Dayak adalah hutan yang diperlambangkan oleh burung enggang lebih lanjut melambangkan dunia yang “lebih tinggi”. Sesuatu yang “di atas” atau “lebih tinggi” di kalangan masyarakat Dayak adalah sesuatu yang sangat penting. Hal kedua yang penting dilambangkan oleh naga yang merupakan perwujudan dari kekuasaan atau kekuatan ber­asarkan mitologi dalam kebudayaan Dayak dan Cina. Itulah kekuasaan naga yang menyajikan organisasi sosial masyarakat Dayak dan yang berlokasi di dunia “bawah”  suatu potensi yang “lebih rendah” dari kedudukan hutan atau burung enggang dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Dayak.

            Kedudukan lebih tinggi burung enggang dibandingkan naga merupakan manifestasi tidak saja dari fakta filosofis tentang keberadaan sumber ekonomi utama masyarakat pedalaman, hutan dengan segala isinya, yang dilambangkan oleh eksistensi burung enggang, tetapi juga dari fakta konkrit dan riil di mana hutan adalah basis utama dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik kelompok etnik Dayak. Posisi lebih tinggi burung enggang daripada posisi naga juga menunjukkan bahwa walaupun anggota masyarakat Dayak bersifat terbuka dan tidak berprasangka buruk terhadap pendatang dari luar, itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka tidak lagi menilai atau menghargai pengaruh intern atau kemampuan kelompok sendiri sebagai lebih rendah dibanding dengan sumber atau pengaruh luar/asing.

            Konsep Durkheim (Giddens, 1972:26) mengenai equasi bahwa Tuhan “sama dengan” masyarakat mungkin menjelaskan pentingnya peranan hutan tidak hanya bagi kehidupan sosio‑ekonomi masyarakat Dayak tetapi juga bagi keberadaan dan kelanjutan kehidupan budaya, tradisi dan sistem kepercayaan mereka. Tuhan tertinggi yang satu, yang mendiami dunia “atas” dan yang dilambangkan oleh burung enggang sebagai manifestasi dari keberadaan hutan, merupakan perlambangan pula dari keberadaan dan kelanjutan basis organisasi kelompok etnik Dayak...........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 22-23

       

      • Dayak Jalai;

        Orang Dayak Jalai percaya bahwa dunia harus dipertahankan eksistensinya dengan cara memberikan jaminan agar semua mahluk, baik yang kelihatan maupun tidak, yang hidup atau pun benda mati, manusia maupun binatang dan tumbuhan, dapat eksis secara bersama-sama dalam interaksi yang seimbang dan harmonis.

        Manusia merupakan bagian dari alam, salah satu unsur di antara unsur-unsur yang lain. Pandangan ini mendasari tindak-tanduk manusia serta menjadi causa prima dari setiap adat istiadat yang dijalankan. Dalam konteks ini, kiranya kita menjadi satu persepsi dengan Ben Anderson yang mengatakan bahwa, ”Sumbangan terbesar yang diberikan oleh agama-agama tradisional dalam memandang dunia ini adalah (…) perhatian mereka yang begitu besar akan keberadaan manusia-dalam-kosmos, manusia sebagai suatu spesies, serta persoalan-persoalan yang mungkin dihadapi dalam kehidupan”.

        Sebagai bagian dari alam, permasalahan akan muncul manakala keseimbangan tersebut terganggu. Dalam persepsi masyarakat adat, gangguan terhadap keseimbangan tersebut  terjadi melalui ketidaktaatan terhadap adat istiadat yang telah menjadi prasyarat bagi harmoni dalam kehidupan (cosmological harmony). Dalam pandangan ini, seseorang yang melanggar adat bukan semata-mata karena ia telah merugikan orang lain, melainkan terutama karena dia telah mengganggu keseimbangan yang seharusnya dijaga antara manusia dengan isi dunia lainnya (kosmos). Keseimbangan yang terganggu tersebut mengancam kehidupan seluruh unsur kosmos, tidak hanya manusia atau si pelanggar adat.

        Demikianlah misalnya, ketika seorang gadis hamil diluar pernikahan dengan pemuda yang diingininya, tanggungjawab yang harus mereka pikul bukan tanggungjawab pribadi. Artinya menurut pandangan orang Dayak Jalai, kedua orang tersebut telah mengganggu keseimbangan alam yang harus dijaga yang aturannya ditetapkan menurut adat istiadat sebagaimana yang telah disampaikan oleh nenek-moyang. Oleh sebab itu, kasus ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan menuntut tanggungjawab pribadi kedua orang tersebut terhadap diri mereka sendiri dan terhadap pasangannya atau anak yang kelak akan dilahirkan. Tanggungjawab tersebut yang prioritas justru terhadap keseimbangan alam yang telah diganggu dengan tindakan yang melanggar adat tersebut (baca: berjinah). ............> Sumber; Buku DAYAK JALAI di persimpangan jalan. Halaman; 78-82. Pandangan Tentang "Dunia Dan Kehidupan"

        • Tentang kisah penciptaan Alam Semesta menurut  perspektif orang Dayak, ynag dapat ditemui di cerita dalm bentuk Mite, dll

          Mite Kejadian Alam Semesta:

          a. Di Kalangan Suku Iban

          Dikisahkan bahwa pada awal mula yang ada hanya air (laut) asali. Di atas laut asali ini melayang‑layang Ara dan Iri, dua keilahian yang mengambil rupa dua ekor burung, laki‑laki dan perempuan, jantan dan betina. Secara bersama Ara dan Iri menciptakan dua substansi berbentuk dua telur raksasa. Dari kedua telur raksasa ini tercipta langit dan bumi (Laubscher, 222). Nama Ara di sini dapat berarti: mengembara, berkelana, keluyuran; pohon ara (sejenis Ficus Indicus); menabur atau menyebarkan.

               Dalam hubungan antara pohon dengan burung, ada sebuah mite yang menuturkan tentang Sengalang Burong (Laubscher, 224‑225). Dituturkan tentang seseorang ber­nama Siu yang pergi berburu sepanjang hari tanpa mendapat seekor burungpun. Ketika hari sudah mulai malam ia menemukan sebatang pohon ara liar. Di situ hinggap banyak sekali burung yang belum pernah ia kenal ma ini. Segera ia mengumpulkan burung‑burung itu nyak mungkin, hampir‑hampir tak bisa dipikulnya, dan ia bermaksud datang kembali setelah burung yang 'dikumpulkan itu dibawanya pulang. Namun, dalam perjalanan pulang ia tersesat dan akhirnya sampai ke sebuah rumah panjang yang hanya dihuni oleh seorang wanita, puteri Sengalang Burong. Siu diterima dan diwajibkan berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang rumah panjang ini, yang adalah milik Sengalang Burong. Atas perjanjian itu, mereka menjadi suami isteri. Putera mereka bernama Seragunting, juga disebut Surong Gunting. Kepada Seragunting inilah kemudian diturunkan oleh Sangalang Burung semua pengetahuan dan cara yang baik berladang, berburu, melaksanakan berbagai upacara pesta adat, mengayau, memahami tanda‑tanda dan lain sebagainya. Aturan‑aturan inilah yang kemudian diturunkan dan dilaksanakan dengan setia oleh Suku lban.........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 4-5

           

          Mite Kejadian Alam Semesta

          b. Di Kalangan Suku Kanayatn

          Di dalam salah satu mite kejadian alam semesta di kalangan suku Kanayatn (Vierling, 177), dikisahkan bahwa di pusat alam semesta ini ada sebuah “pusaran air pohon kelapa” (pusat ai’ pauh janggi). Inilah pohon kehidupan, dari padanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semuanya akan kembali. Di kalangan suku Kanayatn tampaknya yang memegang peranan penting dalam proses kejadian semesta adalah perkawinan kosmis. Dalam awal turunan sebuah mite (Vierling, ibid) dikatakan demikian:

          Kubah langit dan bulan bumi (kulikng langit dua putar tanah)

          memperanakkan;

          Sino Nyandong dan Sino Nyoba,

          memperanakkan;

           Si Nyati puteri bulari dan terpaiwar putera matahari (Si Nyati anak Balo Bulatn, Tapancar anak Matahari),

          memperanakkan;

          Kacau Balau dan Badai (iro‑iro dua Angin‑angin).

               Dari penuturan awal ini kelihatan dari perkawinan kos­mis pertama, yaitu antara langit dan bumi muncullah pa­sangan selanjutnya, yaitu bulan dan matahari, yang ke­mudian melalui suatu polarisasi kekerasan melanjutkan proses penciptaan. Dari salah satu rumus doa persem­bahan dapat ditemukan suatu fragmen yang melukiskan keadaan awal yang serasi antara langit dan bumi: “Padamula pertama bumi itu indah seperti tikar di langit, seperti payung terbuka. Saedo adalah nama bumi dan Saeda nama langit. Bumi pun berguncang dan langit gemetar.” (Vierling, ibid)............> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 5-7

           

          Mite Kejadian Alam Semesta

          c. Di Kalangan Suku Kenyah (Laubscher, 227)

          Di kalangan suku Kenyah ada mite yang menceritakan bahwa ilahi perempuan yang bernama Bungan Malan menciptakan manusia dari Kayu Aran (pohon ara). Kayu Aran tadi baru tercipta menjadi manusia setelah ia dibenihi (dibuntingi) oleh angin yang masuk ke tanaman merambat melalui sebuah torehan pada kayu aran tadi. Dari cerita tradisi ini, kayu aran menjadi lambang kehidupan bagi manusia dan memiliki nama “kayu udiep” (=pohon kehidupan). Dari mite ini  tampak bahwa angin sebagai daya penggerak yang membawa kehamilan pada kayu aran sebagai unsur laki‑laki, sedangkan kayu aran sebagai unsur perempuan.

                Antara Iban dan Kenyah ada persamaan dalam suatu mite yang menyangkut Raja Petara (Laubscher, 227‑229). Dalam mite ini dikisahkan bagaimana Raja Petara (=Raja Entala) bersama istrinya menciptakan langit dan bumi dari daki yang melekat di tubuh mereka. Namun rupanya bumi lebih besar daripada langit, sehingga dijadikannya sungai, gunung, bukit, lembah, dataran, lalu ditumbuhkan sayur‑sayuran, rumput dan perpohonan. Dikatakan pula bahwa Raja Petara bersama istrinya memiliki pohon pisang yang disebut Pisang Rura. Burong Iri (k) melayang‑layang di atas air. Kemudian mereka ini bersatu (kawin); dari sinilah asal mula segala jenis ikan. Kemudian Raja Petara bersama istrinya membentuk pohon pisang jenis lain dari tongkat akar yang disebut Pisang Bangkit, sepasang manusia menurut gambar mereka. Untuk darah diambilnya getah pohon Kumpang yang memang berwarna merah. Istri Raja Petara berseru kepada ciptaannya ini maka hiduplah mereka. Kedua insan ini, yang laki‑laki bernama Telikhu’ dan yang perempuan bernama Telikhai’.........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 7-8

           

          Mite Kejadian Alam Semesta

          d. Kalangan Suku Ngaju (Kalimantan Tengah)

          Menurut mite penciptaan Batang Garing (Ukur, 35‑37) di­tuturkan bahwa pada suatu waktu penguasa alam atas bernama Ranying Mahatara Langit bersama istrinya Jatawang Bulau, penguasa alam bawah, sepakat untuk menciptakan dunia, dengan diawali penciptaan Batanging (pohon kehidupan). Batang, dahan, tangkai, daun, buah‑buahan Batang Garing ini semuanya terdiri dari berbagai jenis logam dan batu mulia. Jata kemudian me­lepaskan burung Tingang betina (Enggang betina) dari sangkar emasnya. Burung itu kemudian terbang, lalu hinggap­ dan menikmati buah‑buahan Batang Garing. Bersama­ dengan itu Mahatara melemparkan keris emasnya, lalu menjelma menjadi enggang jantan yang disebut Temba­rirang. Tembarirang ini pun hinggap dan menikmati buah­-buahan Batang Garing. Kedua burung tinggang lain jenis ini saling iri dan cemburu. Akhirnya terjadi perang suci. Pertempuran maha dahsyat ini menghancurkan Batang Garing dan kedua burung itu sendiri. Dari keping‑keping kehancuran inilah tercipta kehidupan baru, alam semesta dan segala jenisnya.

               Dari kehancuran tadi tercipta pula sepasang insan. Sang wanita bernama “Putir Kahukum Bungking Garing” (Puteri dari Kepingan Gading) dan sang pria bernama “Manyamei Limut Garing Balua Unggon Tingang” (Sari Pohon Kehidupan yang dipatahkan oleh Tingang). Masing‑masing insan ini memperoleh perahu: untuk sang wanita perahu bernama Bahtera Emas (Banama Bulau), dan untuk sang pria perahu bernama Bahtera Intan (Banama Hintan). Kedua insan ini kemudiaan menikah dan mendapatkan keturunan pertama berupa babi, ayam, kucing dan anjing. Keturunan kedua berwujud manusia, yaitu Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Buno. Melewati beberapa peristiwa, akhirnya ditetapkan bahwa putra pertama, Maharaja Sangiang menempati alam atas, tinggal bersama Ranying Mahatara Langit, dan merupakan asal usul segala Sangiang (Para Dewa). Putra kedua, Maharaja Sangen mendiami suatu daerah bernama Batu Nindan Tarung, yang menjadi sumber segala kepahlawanan. Sedangkan Putra ketiga, Maharaja Buno menempati bumi, dan menjadi moyang pertama manusia..........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 8-10 "Kejadian Alam Semesta"

           

          Mite Kejadian Alam Semesta

          e. Dayak Jalai; Asal-usul Dunia & Manusia Jalai

          Mite penciptaan yang dikenal oleh masyarakat Dayak Jalai adalah ceritera yang tragis. Ceritera ini akan mengecewakan para moralis dan pejuang hak-hak asasi manusia. Namun sejarah yang terkandung dalam sebuah mite tidak untuk diverifikasi kebenarannya secara historis. Ia lebih menjelaskan bagaimana sebuah kebudayaan khususnya religiositas suatu bangsa dihayati.  Demikianlah dalam ceritera tentang asal-usul dunia dan manusia Jalai diceriterakan bahwa tanah itu dicuri dari Raja Jawa, lahan perladangan yang subur diperoleh melalui pembunuhan atas saudara kandung sendiri yang membalas dengan cara menjelma menjadi berbagai macam penyakit dan hama tanaman di ladang.

          Dalam hal masuknya unsur Raja Jawa sebagai salah seorang tokoh sentral dalam mite penciptaan ini, setidak-tidaknya melahirkan dua kemungkinan yang menggoda kita. Kemungkinan pertama adalah refleksi pemahaman manusia kala itu tentang dunianya yang terbatas dan terobsesi pada Jawa sebagai pusat dunia, tempat segala sesuatu berasal. Jadi sebuah refleksi yang bersumber lebih secara internal. Kemungkinan kedua adalah refleksi akan adanya semacam dominant culture pada masa tertentu yang mempengaruhi alam pikiran masyarakat Dayak Jalai bahwa tanah yang mereka tempati adalah “Tanah Jawa”. Jawa sebagai simbolisasi dari suatu tempat yang jauh di luar dunianya Dayak Jalai, yang serba asing dan berbeda, sampai kini masih sering dipakai. Seorang pemuda atau pemudi yang menikah dengan “orang luar” misalnya, secara sederhana dikatakan menikah dengan “urang Jawaq” (orang Jawa) terlepas apakah dia orang Batak, Bugis, atau Manado.

          Kemungkinan kedua ini tentu saja semakin menarik manakala mite penciptaan ini dihubungkan dengan mite lainnya, yang dalam mitologi India dikenal dengan istilah pralaya (penghancuran) dalam rangka peremajaan kembali Dunia (kosmos). Mite tersebut berkenaan dengan bencana air bah yang memusnahkan semua isi bumi akibat murka Duwataq karena anaknya yang menjelma menjadi seekor landak dimakan umat manusia. (Lihat ceritera: Petinggiq Payung Labur-Patih Tugang Nyanyam). Bencana air bah tersebut cuma menyisakan 1 keluarga beserta semua perwakilan binatang dan tanaman di bumi. Air bah tersebut dikeringkan setelah kedatangan seorang figur yang bernama Patih Gajahmada dan seseorang yang bernama Sengkumang Pantai Laut. .................> Sumber; Buku Dayak Jalai Dipersimpangan Jalan. Halaman; 48-50

          • Tentang hubungan manusia dengan Penguasa Alam Semesta (Dewataq) dalam perspektif orang Dayak, yang dapat di temui di ceritera dalam bentuk Mite, dll.

            Dayak Simpang;

            Kisah Penciptaan dan Pandangan Dunia

            Dari rekontruksi tradisi lisan (Djuweng, et all, 1994),  kampbokng loboh  laman banua (tanah air) diciptakan oleh Pare­man Tuan Datok Patara Guru, dari risak sakayok tonah sakopal  (sebatang  pohon cengkodok dan tanah segenggam).

            Setelah menciptakan kampbokng loboh laman banua tadi, Tuan Datok  menciptakan manusia, yang terbuat dari tanah. Manusia pertama  ini  teridiri dari tujuh pasang. Setela badan baka urang kayok (corpus)-nya dibuat, Tuan Datok meniupkan nafasnya  kepada  tujuh pasang manusia  pertama ini. Disayangkan bahwa ketika  sedang menyelesaikan peniupan nafas   kepada  pasangan yang keenam, ternyata fajar telah menyingsing. 

            Oleh karena  itu, dia tidak meneruskan meniupkan nafas-nya kepada    pasangan  yang  ketujuh.  Maka mereka tetap  dalam  bentuk     aslinya, berupa sepasang patung dari tanah liat yang menyerupai manusia dan kini terdapat di dusun Bukang (sepasang) dan dusun Banjur (sepasang). Masyarakat lokal menyebutnya Tonah Nyour.

            Kepada  enam  pasang manusia pertama  tadi,  Tuan  Datok menyerahkan dunia dengan segala isinya. Setiap  orang,  dapat menggarap tanah, beburu di hutan, memancing di sungai, tetapi ini  tidak berarti manusia oleh bebuat sewenang-wenang  atas utant  torun are sunge  (alam semesta), walapun manusia dapat melakukannya.  Sumber; Data OT Dayak Simpakng

             

            • Tentang Moral Kehidupan dan Adat Istiadat Orang Dayak yang bertujuan menjaga keseimbangan alam atau kosmos untuk itu manusia harus hidup sesuai adat-aturan dan berprilaku yang baik terhadap sesama dan alam sekitar yang dapat ditemui di ceritra dalam bentuk Mite, dll.

              • Tentang Orang Dayak yang selalu menjaga dan memelihara hubungan baik dengan orang yang sudah meninggal sebagai tanda atau ungkapan penghormatan terhadap Pencipta, alam semesta dan leluhur. yang dapat ditemui di ceritra dalam bentuk Mite, dll

                Orang Dayak yang selalu menjaga dan memelihara hubungan baik dengan orang yang sudah meninggal sebagai tanda atau ungkapan penghormatan terhadap Pencipta, alam semesta dan leluhur

                • Tentang Hubungan Orang Dayak dengan Hutan, Tanah dan Air, yang bertujuan menjaga keseimbangan alam (kosmo) dalam perspektif Orang Dayak yang dapat ditemui di ceritra dalam bentuk Mite,dll

                  Hubungan Orang Dayak dengan Hutan, Tanah dan Air, yang bertujuan menjaga keseimbangan alam (kosmo) dalam perspektif Orang Dayak yang dapat ditemui di ceritra dalam bentuk Mite.

                  Hubungan manusia Dayak dengan tanah/bumi demikian pula dengan pepohonan/hutan sangat erat dan semuanya itu terungkap dalam sistem adat (Garang, 103). Di sam­ping keterlibatan dan kebersamaan selaku makhluk mitis seperti yang telah kita lihat dari mitos‑mitos penciptaan, juga adanya rasa terima kasih kepada bumi dan hutan agar tidak kehilangan daya pertumbuhannya yang meng­akibatkan kerusakan manusia. Oleh sebab itu, diper­lukan perlakuan‑perlakuan atau ketentuan‑ketentuan yang mengatur agar keseimbangan dan keserasian tetap terpelihara. Masyarakat Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak tanah dan hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup itu sendiri. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, insan Dayak selalu memberi terlebih dahulu. Sebagai contoh apabila ingin membuka lahan baru, terutama dengan menggarap hutan yang masih perawan, harus dipenuhi syarat‑syarat tertentu (bdk. Mubyarto, 60‑63):

                   -   Pertama memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat;

                   -  Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam dihutan‑hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda, ini dibarengi dengan memeriksa, hutan dan tanah, apakah cocok untuk berladang atau berkebun.

                   -   Apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberikan Kehidupan bagi mereka (nafkah) dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.

                  ‑           Untuk membuktikan bahwa mereka mengembalikan apa yang diambil ada ketentuan atau kebiasaan bahwa hutan yang diolah itu hanya digunakan selama 2‑3 kali masa panen, kemudian ia dibiarkan untuk bertumbuh kembali menjadi hutan, dan baru dikerjakan kembali setelah 15‑20 tahun...........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 12-13. Hubungan "Manusia Dengan Alam" "Hutan" "Tanah" dan "Air"

                   

                  • Tentang hubungan manusia dengan hewan dimana dalam perspektif Orang Dayak, hewan juga memiliki jiwa atau roh yang perlu juga untuk dihargai dan dihormati, pandangan ini dapat ditemui di ceritra dalam bentuk Mite,dll;

                    Hubungan antara Manusia dengan MakhIuk Hewan

                    Dari mite‑mite penciptaan yang dipaparkan tampak jelasnya hubungan yang sangat dekat antara manusia dan hewan, terutama dengan hewan yang termasuk binatang peliharaan, dan secara khusus dengan burung dan ikan. Salah satu mite yang secara khusus menangkap keterikatan antara manusia dan burung kita jumpai di kalangan suku Banua di Kalimantan Timur (Coomans, 64‑57).

                        Dikisahkan bahwa salah seorang saudara Apakng Ninggir berhari‑hari hanya menangis dan tidak seorang pun yang dapat menenangkan dia. Peristiwa ini terjadi beberapa hari lamanya. Dan setiap kali orang tuanya pulang dari ladang menemukan anak itu terus menangis. Pada suatu hari ketika mereka pulang, mereka terheran-heran, karena tidak lagi mendengar tangis si anak. Mereka menanyakan sang nenek tentang apa yang terjadi. Sang nenek lalu mengisahkan bahwa ia telah memberi makan cucunya sepotong daging ayam hitam dan nasi ketan merah. Betapa terkejutnya kedua orang tua itu, karena makanan yang diberikan itu adalah makanan terlarang. Dengan penuh rasa kuatir mereka menanyakan di mana sang anak dan saudara‑saudaranya yang ikut juga makan makanan terlarang itu. Akhirnya ditemukan ada yang sedang duduk di atas tangga dan di tanah. Pada tubuh mereka sudah mulai tumbuh bulu‑bulu burung. Beberapa hari kemudian, mereka pun menjelma menjadi burung dan terbang pergi meninggalkan rumah asal mereka..........> Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 10-11. Hubungan "Manusia" Dengan "Binatang" Atau "Hewan" "Dayak" "Dayakologi" "Kalimantan Barat" "Borneo"

                    • Tentang di kalangan Orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa setelah mahluk hidup dan manusia mati maka akan ada kehidupan yang lainnya, berupa kehidupan setelah kematian yang dalam perspektif Orang Dayak, dunia setelah kematian ada beberapa macam.

                      Kehidupan Setelah Kematian;

                      Dayak Jalai; Orang Dayak Jalai percaya bahwa kehidupan setelah kematian adalah di Sebayan Ketujuh-Surga Yang Dalam (Sebayan Tujuh Serugaq Dalam) atau di Celah Sudut-Tengah Jalan (Sambang Sakaq Tangah Jalan). Sebayan merupakan tujuan final yang ditempuh oleh roh orang yang meninggal, dilukiskan sebagai tempat yang penuh dengan kebahagiaan tempat roh-roh nenek moyang dan keluarga lainnya yang telah meninggal hidup bersama dalam kebahagiaan. Berbeda dengan kebanyakan kepercayaan lain di dunia, orang Dayak Jalai tidak mengenal istilah Neraka. Perbuatan manusia di dunia akan menentukan sulit atau mudahnya roh mencapai Sebayan bilamana ia meninggal dunia. Orang yang meninggal secara tidak wajar (seperti yang dilukiskan dalam 6 jalan kematian di atas; lihat: Adat Istiadat Kematian) yang antara lain dipercaya karena melanggar adat atau karena kepuhun kecalapan, perjalanan rohnya akan terhalang di sambang sakaq tangah jalan, suatu kondisi terkatung-katung di tengah perjalanan menuju sebayan.

                      Roh yang terkatung-katung di tengah jalan dapat bergentayangan menjadi hantu atau bangkit. Bangkit, yang lebih dipercaya sebagai “mayat hidup” atau semacam zombie, merupakan akibat kematian yang tidak wajar atau kejahatan-kejahatan yang dilakukan semasa hidup sehingga gagal melalui salah satu rintangan dalam perjalanan menuju Sebayan.

                      Sebaliknya roh orang baik yang meninggal tetapi  gagal dalam melalui salah satu rintangan dalam perjalanan menuju Sebayan akan kembali hidup seperti sedia kala. Baik kasus orang yang telah meninggal hidup kembali maupun yang menjadi Bangkit cukup dikenal dalam masyarakat Dayak Jalai.

                      Bangkit dilukiskan sebagai roh berbentuk asap yang keluar dari kuburan melalui sebuah lubang pada malam hari untuk bergentayangan dan mengganggu manusia. Bangkit, selain menakut-nakuti manusia dengan penampilannya yang menakutkan, juga memakan ayam peliharaan manusia. Menjelang pagi, bangkit akan kembali ke kuburannya melalui lubang yang telah dibuatnya. Dalam masyarakat Dayak Jalai berkembang berbagai ceritera tentang bangkit yang ditangkap dengan memasang botol di lubang yang terdapat di kuburan untuk menangkap roh dalam bentuk asap yang keluar.

                      Sedangkan orang yang dipercaya telah meninggal dunia namun hidup kembali antara lain adalah Pering dari Semenjawat, Lemariq (hidup kembali ketika digotong di dalam peti matinya menuju kuburan) dari Perigiq, Si Mandir  (mati sehari semalam, hidup kembali ketika orang sedang pergi membuat kayu untuk peti matinya) dan Si Iyan (setengah hari, hidup kembali dengan menggenggam dua buah biji durian di tangannya, ditanam di depan rumahnya dan tumbuh dengan baik) dari Penggerawan. .............> Sumber; Buku DAYAK JALAI di persimpangan jalan. Halaman; 82-84

                      • Tentang di kalangan Orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa selain manusia dalam dunia ini ada juga kehidupan yang lain yg hidup berdampingan dengan manusia tetapi kehidupan tersebut lebih sempurna dan kasat mata yang dalam perspektif Orang Dayak, Dunia Lain tersebut, ada beberapa macam.

                        • Tentang di kalangan Orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa di dunia ini ada juga terdapat mahluk-mahluk mistis yang lain, berupa hantu ataupun mahluk roh yg lainnya, dalam perspektif Orang Dayak, mahluk-mahluk tersebut ada beberapa macam.

                        • Tentang di kalangan Orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa manusia wajib menghormati, menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar kalau tidak maka akan mendapat teguran dan hukuman dari alam berupa bencana ataupun musibah, dalam perspektif Orang Dayak, bentuk bentuk penghormatan tersebut.

                          • Tentang dikalangan Orang Dayak terdapat kepercayaan bahwa manusia yang masih hidup di dunia ini wajib saling menghormati, menjaga dan melestarikan hubungan baik dengan sesama baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Bentuk saling menghormati dan saling menjaga hubungan baik tersebut.

                            • Tentang Orang Dayak mempunyai kegiatan rutin atau sehari-hari yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok, dalam menjaga hubungan baik dan menjaga keseimbangan dengan Yang Maha Kuasa, Alam dan Seisinya.

                              • Tentang Orang Dayak memiliki kegiatan khusus yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok dalam berkomonikasi dengan Yang Maha Kuasa, Alam dan Seisinya, yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian khusus.

                                • Tentang Orang Dayak yang melakukan kegiatan khusus yang dilakukan secara individu dalam berkomonikasi dengan Yang Maha Kuasa, Alam dan Seisinya yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang mempunyai keahlian khusus dan bertujuan untuk mencapai sesuatu (mencari ilmu, mencari informasi, dll).

                                • Macam‑macam Simbol; Dalam pengenalan dan penggunaan simbol‑simbol pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat jelas terdapat banyak persamaan. Hal ini ada kaitannya dengan kepercayaan mereka, yang menganggap bahwa alam itu, baik yang nyata maupun yang gaib, merupakan sumber dan basis kehidupan.

                                        Oleh sebab itu, jika mereka bijaksana menata alam mereka akan mendapat rezeki dari alam, dibantu dan bahkan akan dilindungi oleh alam. Pada masyarakat Banuaka’ ada yang disebut Karue, dan pada Than ada Penfaroh yaitu suatu benda alam, baik berupa batu, kayu, tulang atau benda lain yang bentuknya menyerupai benda binatang tertentu dianggap mempunyai roh atau kekuatan gaib yang dapat membantu manusia dalam mencari  rezeki.

                                       Dalam hubungannya dengan makna atau arti dari simbol atau lambang itu Dr. James J. Masing seorang antrolog dari suku Iban di Sarawak mengutip pendapat dalam Webster's World Dictionary menyatakan:  something that stands for or represent another thing, especially an object used to represent something abstract.

                                  Sementara Victor Turner dalam Masing (1988) melukiskan:

                                  …symbols, in a ritual context as the smallest unit of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior; it is the ultimate unit of the specific structure in a ritual context. Thus in a universal context of symbolism, dove h; a symbol of peace, the cross is the symbol of Christianity. Symbol is used in tile main, to capture feel­ings, emotions and abstract ideas to a physical visible object. In this visible object, ideas and human emotions are stored. A flag of a State, for instance, should denote and inspire the feeling of loyalty, a sense of belonging, and its subjects oil seeing that flag, should recall historical events which have influenced and determined the creation of that symbol. Thus a flag is not just a piece of colorfully designed doth, but it is a symbol in which emotions, feelings and history of a nation is captured.

                                  Apa yang dilukiskan Victor Turner dapat ditemukan dalam kehidupan beberapa Dayak di Kalimantan Barat. Dalam mengasosiasikan simbol atau lambang dapat muncul secara spontan pernyataan, perasaan atau sekurang-kurangnya sikap untuk mempercayai atau mematuhinya. Misalnya dalam:

                                  1. Memulai tahun perladangan mereka akan mengamati cuaca, bintang, keadaan flora dan fauna;

                                  2. Melangsungkan perkawinan, mereka akan mencari‑cari dan mengamati tanda‑tanda alam yang mungkin dapat dijadikan penuntun, sebagai usaha mencari hari baik bulan baik;

                                  3.  Bepergian, apa bila diperoleh petunjuk atau pertanda  yang menggembirakan mereka akan berangkat dengan rasa lega. Tetapi sebaliknya apabila mereka mendapat petunjuk yang kurang baik, mereka akan menunda keberangkatan. ...............>

                                  Sumber; Buku Kebudayaan Dayak Aktual dan Transformasi. Halaman; 39-45

                                  • Tentang Orang Dayak memiliki kepercayaan bahwa beberapa binatang atau hewan mempunyai kekuatan magis/gaib/sakral dan menjadi symbol/lambang yang selalu digunakan baik dalam ritual maupun dalam bentuk media lainnya (patung, taoo, pakaian, aksesoris, dll).

                                    • Tentang Orang Dayak memiliki kepercayaan bahwa beberapa tumbuhan mempunyai kekuatan magis/gaib/sakral dan menjadi symbol/lambang yang selalu digunakan baik dalam ritual maupun dalam bentuk media lainnya (patung, taoo, pakaian, aksesoris, dll).

                                          

                                      • Tentang Orang Dayak memiliki kepercayaan bahwa ada benda/barang/media yang di dapat atau dibuat oleh alam dan mempunyai kekuatan magis/gaib/sakral serta menjadi perlengkapan yg selalu digunakan baik dalam ritual maupun dalam bentuk kegiatan lainnya (perang, berburu,,dll).

                                        • Tentang Orang Dayak memiliki kepercayaan bahwa ada benda/barang/media yg dibuat oleh manusia dan mempunyai kekuatan magis/gaib/sakral, serta menjadi perlengkapan yg selalu digunakan baik dalam ritual maupun dalam bentuk kegiatan lainnya (perang, berburu, dll).

                                          Dayak Kanayatn;

                                          Pamabakng adalah sebuah media yang sebagai simbol yang harus di patuhi dan di hormati bagi seluruh Dayak Kanayatn. Pamabakng ini dibuat dan dipasang atau diletakkan bersamaan dengan serangkaian kegiatan pelaksanaan ritual adat-istiadat. Tradisi atau kegiatan adat ini sudah dilaksanakan oleh Nenek dan Kakek orang Dayak Kanayatn dahulu.

                                          Keyakinan dan kepercayaan oleh seluruh Masyarakat Dayak Kanayatn,  bahwa media dan adat Pamabakng ini sangat membantu dalam menyejukkan suasana pertikaian antar sesama Talino (manusia) yang sedang berselisih paham dan beda pendapat.

                                          Selain sebagai media untuk menyejukkan suasana pertikaian, Pamabakng juga di yakini oleh Dayak Kanayatn dapat menjadi penagkal berbagai bahaya yang akan masuk di wilayah Kampung dan di dalam rumah pribadi.

                                          Sehingga ada beberapa Pamabakng di pasang di ujung Kampung (di Hulu dan di Hilir) tujuanya untuk menangkal bahaya yang akan masuk di wilayah kampung. Sedangkan jika dipasang di depan rumah (di halaman rumah / di tangga rumah) ini bertujuan untuk menangkal bahaya yang akan masuk di rumah (baik itu penyakit, musibah, dan hal-hal lain yang jahat).

                                           

                                           

                                        • Dayak Jalai ; RELIGIOSITAS MANUSIA JALAI

                                          AGAMA, seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak ahli, tidak mudah untuk didefinisikan. Dalam praktik kehidupan sehari-hari di Indonesia, agama dipahami oleh kaum awam secara sederhana sebagai “kepercayaan resmi” seseorang. “Resmi” karena di Indonesia, isu agama mengalami proses hegemoni dan politisasi oleh pemerintah yang berkuasa yang dikenal dengan istilah “Lima Agama Resmi Negara.” Karena negara mengklaim dirinya memiliki otoritas untuk mendefinisikan mana yang disebut agama dan mana yang bukan, maka diciptakanlah kriteria yang harus diakui berlaku secara “resmi” pula. Salah satu diantaranya adalah bahwa agama harus memiliki Kitab Suci yang tertulis.

                                          Karena pengertian agama telah direduksi dan dipolitisasi sedemikian rupa oleh penguasa, maka hak-hak sebuah agama di luar “Lima Agama Resmi negara” untuk eksis juga ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa. Demikianlah agama yang dimiliki oleh orang Dayak yang dalam buku ini disebut dengan istilah Agama Adat, tidak diakui keberadaannya secara resmi oleh negara, terlepas dari realitas bahwa agama tersebut sungguh-sungguh ada dan dijalankan oleh para pengikutnya.

                                          Karena itulah, ketika dipergunakan istilah agama menggandeng bersamanya persepsi tentang suatu ajaran formal dengan segala lembaga pendukungnya dan kitab suci yang tertulis. Jadi agama samasekali tidak dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “kepercayaan kepada mahluk-mahluk spiritual” atau “supernatural” seperti yang telah menjadi konsensus umum di kalangan para ahli di dunia ini yang mencari jawaban tentang agama dan mengapa manusia beragama. Sehingga, jika pengertian agama seperti yang dipahami oleh masyarakat umum selama ini yang merupakan ide yang diproduksi oleh pemerintah Indonesia, maka jelas kita tidak akan menemukan adanya agama dalam masyarakat adat Dayak Jalai. Yang ada adalah, sesuai dengan terminologi yang sekali lagi diproduksi oleh pemerintah, “kepercayaan” nenek-moyang yang hanya berhubungan dengan tahyul dan kebodohan. Sebab “kepercayaan” sendiri memang telah direduksi pengertiannya sedemikian rupa sehingga dipahami hanya sebagai, ”…tindakan-tindakan ber-upacara yang dianut dan dilakukan oleh sedikit orang dalam masyarakat-masyarakat bersahaja.” Karena hanya dianggap “kepercayaan” sajalah, maka agama-agama lain yang ada di Indonesia cukup dimasukkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Soeharto, tidak di bawah Departemen Agama seperti yang berlaku pada kelima agama resmi negara. Demikian pulalah Kaharingan hanya boleh jadi agama jika rela masuk menjadi salah satu “agama resmi” yang ada yaitu Hindu. Perlakuan yang khas Orde Baru. ............> Sumber; Buku DAYAK JALAI di persimpangan jalan. Halaman; 77-78. "Ritual Keagamaan"

                                            • Tentang, ritual adat dalam perkawinan dan berumah tangga di kehidupan Orang Dayak.

                                              Dayak Jalai; Adat Istiadat Perkawinan dan Berumah Tangga. (Sumber; Buku DAYAK JALAI di persimpangan jalan, Hal; 103-106)

                                              Perkawinan Normal;  Adat istiadat pekawinan normal adalah perkawinan yang terjadi melalui proses yang wajar bukan yang tersangkut perkara adat. Perkawinan ini dikenal dengan istilah bejadiq bepayuq tuntung udah bujang bebiniq daraq belakiq (menikah, mengakhiri masa lajang, bujangan beristeri, gadis bersuami). Proses terjadinya perkawinan serta adat istidat yang berhubungan dengannya dijelaskan secara singkat berikut ini.

                                              Masa Perkenalan

                                              Pada zaman dahulu kala, seorang lelaki yang berhasrat untuk mempersunting seorang gadis sebagai isterinya diberi kesempatan untuk saling mengenal oleh orangtua si gadis selama tiga hari. Artinya si lelaki boleh bertandang ke rumah si gadis dan menginap di rumah si gadis selama tiga hari berturut-turut atau tiga kali pada hari yang berbeda tanpa menyampaikan secara resmi niatnya kepada orangtua si gadis. Kebiasan ini berlaku pada zaman dahulu kala karena orang sangat memegang teguh adat istiadat dan tidak mungkin melakukan perbuatan di luar batas atau melanggar adat. Demikian pula sebaliknya, adat istiadat masih berlaku secara ketat karena merupakan satu-satunya hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

                                              Pernyataan Sikap

                                              Setelah tiga hari berturut-turut atau tiga kali menginap di rumah si gadis, orangtua si gadis akan memanggil lelaki tersebut dan menjamunya makan dan minum. Setelah selesai makan minum, orangtua si gadis akan mulai menanyai maksud si lelaki terhadap anak gadisnya. Maksudnya adalah, jika si lelaki serius ingin memperisteri si gadis (handak hidup bekambayuan, handak menguyak rabung mematah humbut), maka disepakatilah kunjungan orangtua si gadis kepada orangtua si lelaki untuk membicarakan perjodohan tersebut. Namun jika si lelaki ternyata cuma ingin main-main, maka orangtua si gadis akan menuntut secara adat.

                                              Pertunangan (Becinciman/Cincim ke Jariq, Galang ke Tangan)

                                              Jika si lelaki berniat mempersunting si gadis, maka orangtua si gadis akan pergi mengunjungi pihak keluarga si lelaki untuk menyampaikan perkara tersebut dan melangsungkan pertunangan antara si gadis dengan si lelaki. Proses ini biasanya dilakukan sepuluh hari setelah orangtua si gadis menanyai si lelaki. Namun, jika ternyata orangtua si lelaki menolak, maka kunjungan orangtua si gadis akan berubah menjadi kunjungan untuk meminta denda adat (me-alap dusaq) karena telah ingkar janji atau mempermainkan anak gadisnya. Jadi pada zaman dulu, tidak ada proses meminang dari pihak lelaki ke pihak perempuan seperti yang terjadi sekarang ini.

                                              Masa Pengenalan kepada Masing-masing Calon Mertua

                                              Setelah pertunangan dilangsungkan, si gadis akan tinggal di rumah calon mertuanya selama tiga hari berturut-turut. Kemudian si lelaki juga akan menginap di rumah calon mertuanya selama tiga hari juga. Hanya kedua pasangan ini tentu saja belum diperkenankan untuk melakukan hubungan suami-isteri.

                                              Masa Persiapan Perkawinan (Pakat Bahat Kunciq Kubaq)

                                              Setelah menginap masing-masing tiga hari di calon mertua, si lelaki dan si gadis tidak diperkenankan untuk berkumpul satu rumah lagi. Si lelaki kemudian akan berusaha atau bekerja untuk membeli perlengkapan dan syarat-syarat perkawinan kelak, demikian pula si gadis dan keluarganya. Hal ini tampaknya juga sengaja diadakan untuk memberi kesempatan kepada kedua calon pasangan tersebut untuk membatalkan niat mereka, jika salah satu di antaranya kemudian berubah pikiran. Setelah perkawinan dilangsungkan, tentunya konsekuensi yang harus ditanggung akan semakin berat, jika salah satu di antaranya berniat untuk bercerai.

                                              Masa Penetapan Tanggal Perkawinan (Beduman Ragi Bansalan)

                                              Orangtua si gadis kembali akan mengunjungi orangtua si lelaki apabila persiapan di pihak mereka sudah dirasakan cukup untuk melangsungkan upacara perkawinan anak mereka. Orangtua si gadis akan membawa sejumlah ragi untuk diberikan kepada orangtua si lelaki sebagai tanda bahwa mereka sudah menginginkan agar upacara perkawinan dilangsungkan. Pada kesempatan ini waktu pelaksanaan perkawinan pun disepakati.

                                              Konfirmasi Pelaksanaan Upacara Perkawinan (Meanjuq Tuak Pepadahan)

                                              Empat hari sebelum hari pelaksanaan yang telah disepakati, kembali orangtua si gadis mengunjungi orangtua si lelaki untuk mengkonfirmasikan pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Setelah itu, pemberitahuan disampaikan kepada pihak-pihak terkait oleh kedua orangtua yang ingin melaksanakan upacara tersebut (meanjuq tuak pepadahan ke damung sebagai cunting carah tandaq remanaq urang bujang bebiniq daraq belakiq jadiq payuq tuntung udah).

                                              Perkawinan (Bejadiq);
                                              Upacara perkawinan atau bejadiq terdiri dari mearaq pengantian yang merupakan upacara besar dilangsungkan selama tiga hari tiga malam yang disebut memarang padung. Tabang baluh adalah upacara sederhana yang dilaksanakan hanya sehari semalam.

                                              Pada upacara mearaq pengantian, acaranya terdiri dari prosesi:

                                              1. Pada hari pertama, kedua Pengantin diwajibkan untuk mencari buluh (menabang layau/buluh mudaq).
                                              2. Membuat tanggui (topi yang biasanya dipakai ketika panen) dari buluh yang telah ditebang untuk dipakai oleh pengantin perempuan ketika diarak.
                                              3. Begandang cungkitan duriq (malam hari). Kegiatan intinya adalah “menanam” buluh oleh tiga orang yang merupakan pernyataan bahwa kegiatan perkawinan sesuai dengan adat akan dilaksanakan. Jika batal, maka damung berhak untuk menuntut/menghukum secara adat.
                                              4. Begandang tikus meampang (pagi sekali) pintaan buis. Artinya pihak perempuan menuntut adat atau mas kawin dari pihak lelaki.
                                              5. . Bolak-balik selama tujuh kali dari rumah pengantin perempuan ke rumah lelaki dengan membawa buluh yang dipakai pada waktu cungkitan duriq.
                                              6. Mearak pengantian, yakni pengantin lelaki menemui pengantin perempuan. Pengantin perempuan menemui pengantin lelaki di depan rumahnya dengan mengenakan tanggui yang telah dibuat. Musik gamal  dibunyikan baik di rumah pengantin lelaki maupun di rumah pengantin perempuan.
                                              7. (buluh pacak manuk matiq atau tuak tumpah manuk matiq), yakni upacara memecahkan buluh yang dipakai oleh suruhan sebagai tanda pengesahan perkawinan.
                                              8. Baapalit (tampung tawar ke kaning, darah manuk ke pipiq), yakni upacara pemberkatan dan penyucian perkawinan dengan berconteng darah ayam ke pipi kedua pasangan serta mengoleskan tampung-tawar ke kening pasangan tersebut.
                                              9. Gandang menaikan, dilakukan setelah bejadiq dengan makna bahwa kedua pasangan sudah terikat satu sama lain dan tidak bisa menyimpang kepada yang lain.
                                              10. Begandang pinggan baras tali manuq, cunting harang tanda kapur (melayangan daun) merupakan kegiatan pembagian upah pagal kepada mereka yang terlibat dalam menyukseskan acara yang berlangsung serta tanda di badan yang menunjukkan bahwa orang yang diberi tanda terlibat dalam kegiatan perhelatan tersebut.

                                              Sedangkan pada upacara yang sederhana (tabang baluh), prosesi arak-arakan pengantin ditiadakan, sehingga hanya dilaksanakan upacara peresmian perkawinan secara adat dan penyerahan mas kawin dan peraga adat.

                                              Mas Kawin; Pada masyarakat Jalai, mas kawin merupakan kewajiban pihak lelaki. Mas kawin tersebut adalah sebagai berikut:

                                              1. Pertunagan/Becinciman:

                                              Sebuah cincin, sebuah gelang, (galang santak sikuq, cincim lalin jariq udah menjadiq lawang damung bisaq rajaq aginnya barat di belikang ikulan panjang dibahuq) dua buah piring, dua buah mangkuk, dan selembar kain.

                                              Jika dikemudian hari pihak perempuan membatalkan perjodohan, maka ia wajib mengembalikan setengah dari biaya yang telah dikeluarkan pada masa pertunangan ditambah dengan semua mas kawin yang telah diserahkan. Jika pihak lelaki yang membatalkan perjodohan, maka semua ongkos yang telah dia keluarkan beserta mas kawinnya otomatis menjadi milik si perempuan ditambah denda adat berupa sebuah tajau. Jika ada lelaki atau perempuan lain yang menyebabkan batalnya pertunangan, maka denda adatnya berupa limaq balas diatas. Jika ada orang yang mengganggu tunangan orang lain, maka hukuman adatnya adalah selasaq. Sedangkan jika seseorang merebut tunangan orang lain, hukuman adatnya adalah limaq balas diatas

                                              2. Perkawinan:

                                              • batangan buis: duaq lasaq (2 buah tajau  ringkin atau 1 buah guci besar + 1 buah piring).
                                              • pinggan bekukup ( 2 buah piring)
                                              • pinggan penunang (2 piring)
                                              • pinggan papalitan (1 piring)
                                              • cincim penunang-galang penunang (1 piring + I mangkuk)
                                              • parang perantas labang (1 bilah parang)
                                              • umbang pesurung (1 lembar batik)
                                              • mangkuk bekukup (2 buah mangkuk)
                                              • mangkuk papalitan (1 buah mangkuk)
                                              • (2 rupiah perak atau 1 lembar batik)
                                              • berupa tumbak menemanai, sumpitan menyangkuh: 1 buah piring dan 1 buah mangkuk
                                              • labah kapat buah pinang (1 labah besar + 1 buah labah kelembuai)
                                              • tungkau huban kambing babiq (2 buah piring atau sebuah tempayan)

                                               

                                              • Tentang, ritual adat dalam masa kehamilan di kehidupan Orang Dayak.

                                                Dayak Ngaju;

                                                Adat  Manyaki Dirit; Panggilan akrab kepada seseorang yang sudah lazim dipakai dalam kehidupan sehari hari. Pangilan akrab tersebut bagi Orang Dayak di Kalbar bukan baru. Dayak kanayatn Kabupaten Landak misalnya, jika memanggil seseorang misalnya Fransiskus namanya dan dia mempunyai anak bernama Rudy maka panggilan akrab dan sopan sebainya memanggil nama anaknya ditambah dengan awalan pak misalnya “ Pak Rudy “. 

                                                            Salah satu budaya Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang terkenal dan masih terus di lestarikan sampai saat ini adalah  upacara pemberian nama kepada anak terutama kepada anak  sulung ( temai ).Sejak acara itu selesai maka syah sudah orang akan memanggil si A dengan nama anaknya. Hal ini hanya berlaku kepada anak yang lahir menjadi putra atau putri pertama saja. 

                                                          Pada prosesi upacara adat Dayak Ngaju, Raja Uju Hakadung di undang melalui upacara  adat yang disebut manyaki dirit (mamalas /menampung nawar  istri ). Hal tersebut dilakukan oleh setiap pasangan suami istri pada  kehamilan pertama saat kandungan berusia tujuh bulan. Pangkaras adat ( Dayak Kanayatn ) atau kelengkapan prosesi acara disiapkan diantaranya ; tikar rotan ( amak pasar) ,piring mangkok ( berwarna putih  polos ) diisi dengan beras uang sekitar Rp. 20.000 ,- dan besi /ladok/lading ( tekang  hambaruan ). Selain itu disiapkan pula tapung tawar ( anyaman daun kelapa muda ) , dengan kelengkapan  anyatamn dicelupkan dalam gelas berisi air,minyak harum, uang logam ,cincin emas dan perak, Undus ( minyak kelapa ), Minyak Pewangi ( parfum ), Ehet ,terdiri dari kayu salembang 5-7 potong , diikat dengan tali tegang atau benang jarum. Perangkat lain yang tidak boleh ketinggalan adalah menyiapkan  seekor babi betina 10-30 kilogram dan seekor ayam ½ 1 kilogram. Upacara adat harus dilaksanakan pada siang hari antara pukul  10-11 WIB.

                                                            Orang Dayak Ngaju menyakini bahwa ada yang sangat kuasa memberi hidup bagi bayi sulung melalui rahim ibunya. Menurut  kepercayan Dayak Ngaju bahwa dalam alam ini ada tujuh malaikat yang mendapat kuasa dari Allah (  Hatalla Ranying ). Ketujuh malaikat itu menurut keparcayaan adalah Raja Uju Hankadung ( Tujuh Orang Raja Bersaudara ). Ketujuh Raja Uju Hankadung itu memiliki pencitraan masing masing sebagai berikut :  Raja Panimbang Darah,berarti sel darah putih ,Raja Putir Selung Tamanang berarti isu paru paru ,Raja Garing hantungu Apang Sangumang berarti isi otak ( berpikir) Raja Pamise Andau berarti isi jantung Raja Angking Penyang berarti wibawa (pengaruh ), Raja Panuntung Untung berarti rejeki .

                                                            Orang Dayak Ngaju yakin tujuh Raja Hankadung bekerja sejeka bayi mulai dari pembentukan hingga usia kandungan tujuh bulan. Angka 7 ( tujuh) bagi orang Dayak  di Kalimntan sangat menentukan kesempurnaan segala sesuatu. Bagi calon bayi, angka tersebut adalah pencapaian kesempurnaan sudah lengkap struktur tubuhnya. Pada usia itu Raja Uju Hankadung juga diundang untuk mengisi kelengkapan tubuh bayi sehingga mulai berfungsi.

                                                            Tampung tawar pada istri dilakukan pertama kali oleh suaminya ,setelah itu  dilakukan kedua orang tua masing masing pihak dan selanjutnay dialkukan oleh nenek/kakaknya. Pada versi kaharingan ,sebelum makan bersama pihak tetua adat duduk di amak pasar,menawar atau memanggil Raja Uju Hakandung bahwa manyaki dirit sudah dialksanankan.

                                                            Acara manyaki dirit harus dilakukan hanya kepada anak sulung saja, kalau untuk anak berikutnya tidak harus dilakukan lagi. Rokmond Onasis. Kalimnatan  Review .No. 129/Th .XV/Mei 2006   ( hal 38

                                                 

                                                • Tentang, ritual adat dalam masa kelahiran di kehidupan Orang Dayak.

                                                  Dayak Mentuka';

                                                  Dayak Mentuka’ adalah kelompok masyarakat yang bermukim disepanjang Sungai Mentuka' yang jaraknya kira-kira 450 Km dari Kota Pontianak atau kira-kira 18 Km ke arah selatan dari ibukota Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau.

                                                        Wilayah penyebaran Dayak Mentuka’ umumnya terdapat di Sungai Mentuka' yang bermuara di Sungai Sekadau. Dan ada juga yang bermukim di sungai kecil, cabang Sungai Mentuka' yaitu Sungai Sekotong. Beberapa kampung di sepanjang sungai ini selain masuk dalam wilayah Kecamatan Nanga Taman, juga masuk dalam wilayah Kecamatan Nanga Mahap terutama bagian hulu sungai ini. Dalam hal ini suku ini menyebar di 2 kecamatan yang meliputi 19 kampung, dengan jumlah penutur bahasa Mentuka' sekitar 5.394 jiwa (Sujarni Alloy, Institut Dayakologi : 2006)

                                                        Seperti suku Dayak lainnya, suku Dayak Mentuka' yang meyakini dirinya sebagai keturunan kerajaan Majapahit (Sujarni Alloy, Institut Dayakologi : 2006), mempunyai adat istiadat ketika orang telah melahirkan. Adat ini berlaku di Desa Pantok Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau dan Dayak Mentuka' umumnya.

                                                  Adat-adat pokoknya meliputi :

                                                  • Tuak, yang tidak ditentukan banyaknya.
                                                  • Dua ekor ayam yang dipotong untuk keperluan adat.
                                                  • Beras yang dimasukkan kedalam piring, sebanyak tiga piringyang di susun bertingkat dan

                                                  diatasnya diletakkan sepotong paha ayam.

                                                  • Mangkok adat sebanyak 8 poku (24 buah).
                                                  • Sebilah pisau raut (seraut).
                                                  • Sehelai kain berwarna hitam.

                                                  Selain itu ada juga perlengkapan lain atau makanan yang harus dihidangkan kepada para tamu diantaranya lemang, yang terbuat dari beras ketan dimasak dalam ruas bambu dan beras biasa yang juga dimasak dalam ruas bambu, daging babi atau ayam yang di campur dengan jahe sebagai lauk.

                                                  Proses pelaksanaan upacara

                                                  Sebelum upacara adat di mulai, pihak tuan rumah atau pihak keluarga dari yang melahirkan terlebih dahulu menyediakan perlengkapan pokok adat melahirkan seperti yang ditentukan oleh pemimpin adat.

                                                        Setelah itu barulah tuan rumah memberitahukan pada semua orang yang hadir di situ, khususnya bidan kampung yang menjadi pihak penerima adat bahwa pihak tuan rumah sudah menyiapkan perlengkapan adat yang telah di tentukan.Dengan demikian upacara adat pun dimulai dengan doa yang dipimpin oleh pimpinan umat setempat.

                                                  Setelah itu tuan rumah mempersilahkan semua yang hadir untuk menyantap hidangan yang telah disajikan dan meminum tuak yang disiapkan.Setelah selesai makan dan minum tuak, barulah ketua adat membagikan perlengkapan pokok yang telah tersedia.

                                                      Beras yang di atasnya berisikan paha ayam dan mangkok adat sebanyak 12 buah (4 poku), diberikan kepada bidan kampung sebagai pihak penerima adat.Juga sebilah pisau raut dan sehelai kain yang berwarna hitam. Mangkok juga dibagikan kepada tuan rumah sebanyak 2 poku (6 buah).Hal ini menandakan kesepakatan antara bidan dan pihak tuan rumah bahwa upacara tersebut telah diselenggarakan, sehingga tidak ada lagi hutang adat dari pihak yang melahirkan terhadap bidan kampung dan masyarakat sekitar.

                                                        Mangkok adat yang sisanya sebanyak 2 poku (6 buah ) dibagikan kepada pengurus adat.Setelah itu, acara pun selesai dan ditutup dengan doa. PATRESIUS DIDIT

                                                   

                                                  • Tentang, ritual adat dalam masa pertumbuhan usia di kehidupan Orang Dayak, misalnya ritual sebagai tanda kedewasaan untuk pria maupun wanita.

                                                    • Tentang, ritual adat dalam acara kematian yg memohon kepada Yang Maha Kuasa agar perjalanan yang sudah meninggal dalam menuju tempat tujuan akhir bisa berjalan dengan lancar.

                                                      1. Dayak Suku Batu, subsuku Dayak Laman Tawa;

                                                               

                                                      2. Dayak Kanayatn; Adat Kematian (muakng ai' balik)

                                                       

                                                       

                                                       

                                                       

                                                       

                                                       

                                                      3. Dayak Kayaan;

                                                      Kematian menurut masyarakat Dayak Kayaan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar,mempunyai makna sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebagai penghormatan dan penghargaan terakhir kepada manusia, maka dibuatlah ritual penguburan yang sesuai dengan kedudukan/status seseorang dalam masyarakat, tingkat kedewasaan (tua, remaja, bayi) dan kemampuan ekonomi keluarga. Ritual kematian untuk rakyat biasa berbeda dengan seorang tokoh kampung/suku.

                                                      Ada empat jenis tata cara pemakaman orang yang meninggal, yakni (1) dimasukkan dalam tempayan, (2) dikemas dalam tikar, (3) dimasukkan dalam salung (petimati), (4) digantung di pohonkayu.

                                                      Jika pinyin (rakyatbiasa), diperlakukan biasa saja. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, jika memang sudah tidak ada kemungkinan hidup, dipukul gong dengan irama daak pejalo. Tujuannya untuk member tanda darurat dan memanggil roh orang yang sekarat itu untuk kembali. Setelah orang tersebut menghembuskan nafasnya, dibunyikan gong dengan irama daa khulit untuk memberitahu wargabahwa ada yang meninggal.

                                                      Mayat orang yang meninggal diletakkan di pelataran luar rumah dalam rumah panjang, dan di sampingnya di buat serihaan (tempat menyimpan barang yang dibawa) serta keliaang/lobang untuk menyimpan barang yang biasa dipakai orang yang meninggal itu.

                                                      Jenazah pinyin harus dipedo (disemayamkan di rumah) sesuai musim ladang. Jika tidak sibuk dengan pekerjaan di lading bias disemayamkan 7 hari. Jika musim kerja ladang, cukup 2-3 hari saja.

                                                      Orang pinyin yang meninggal dimakamkan dengan dua cara, yaitu dimasukkan dalam salung dan dikuburkan dalam tanah. Kedua, dimasukan dalam lungun dan diletakan diataslagah (sejenis pondok-Red.). Bersama jenazah itulah barang-barangnya disimpan. Mayat tidak dikuburkan dalam tanah. Dalam golongan pinyin, baik anak, remaja, maupun orang tua, tata cara pemakamannya seperti itu.

                                                      Kedua cara ini biasanya diselang-seling. Misalnya anak pertama yang meninggal dimasukan salung. Maka anak keduanya dimasukkan dalam lungun dan disimpan di lagah. Anak ketiga seperti anak pertama; anak keempat seperti anak kedua; dan seterusnya. Sengaja tidak dikubur dalam tanah karena takut diganggu binatang.

                                                      Setelah penguburan keluarga dan masyarakat bermusyawarah untuk menentukan berapa lama kemihaan (masaberkabung). Pihak keluarga berhak mengajukan lama waktu kemihaan, sedangkan, posisi masyarakat dan para tetua dalam hal ini berhak mempertimbangkan, dengan melihat aktivitas masyarakat pada saat itu. Biasanya 8-10 hari. Setelah lama masa kemihaan diputuskan, maka mulai pada hari itulah lali (adat kematian) berlaku bagi seluruh masyarakat.

                                                      Pantangan dalam masa kemihaan cukup banyak. Misalnya orang tidak boleh mengenakan perhiasan, tidak boleh mengadakan keramaian dalam wilayah itu, tidak boleh bepergian jauh seperti keladang, kehutandan lain sebagainya. Pakaian tidak boleh sembarangan. Hanya boleh memakai ta'ah (kemban perempuan) dan bah (cawat lelaki) yang terbuat dari kulit kayu. Kalau bahannya dari kain, harus diolesi tanah supaya tidak Nampak baru. Pantangan ini berlaku untuk masyarakat setempat.

                                                      Pantangan untuk orang Kayaan di luar wilayah orang yang meninggal juga ada. Jika ada orang luar masuk memakai perhiasan, maka harus diambil oleh keluarga yang meninggal. Ini sebagai tanda pembayaran yang dikenakan untuk orang luar yang melanggar adat. Orang di luarkampung yang meninggal tidak boleh membunyikan gong.Dan masih banyak pantanganlainnya. Jika dilanggar maka akan dihukum adat.

                                                      Hipi;
                                                      Untuk golongan hipi (kepala suku dan sejenisnya) yang meninggal, adatnya berbeda dengan pinyin. Sebelum dan sesudah hipi menghembus nafas terakhirnya, jenis musik gong yang dibunyikan sama fungsinya dengan pinyin, jugasa macarapenguburannya. Hanya lama waktujenazahhipilebih lama, biasanya 8-10 hari.

                                                      Jenazah orang hipi wajib dimasukan dalam lungun. Kecuali pada hipiuma' Pagung (subsuku Kayaan di mendalam), ada mayat yang di masukan dalam tempayan. Besar kecilnya tempayan sesuai ukuran jasad. Tempayan dipotong bagian tengahnya. Untuk membuktikan apakah dia hipi atau tidak, maka saat dimasukkan dalam tempayan itulah akan terbukti. Jika ia hipi, maka tubuhnya akan melentur dan masuk tempayan setelah dibacakan mantera. Posisi mayat adalah duduk dengan kedua lutut dilekukkan serata dengan bahu, kemudian potongan tempayanta didisambung kembali dan dilekatkan. Mulut tempayan ditutup dengan mebaang (alat music seperti gong). Untuk menghindari tempayan dari binatang, maka diletakan diantara lalir (akar kayu besar yang muncul tinggi di permukaan tanah).

                                                      Sama cara pemakaman hipi orang Kayaan Uma' Pagung dan Uma' Aging/Suling. Ketika mayat hipi mau dimakamkan, terlebih dulu diperlihatkan pada setiap pintu bilik rumah panjang. Dulu diatas lungun diletakkan seorang dipan. Dipan adalah kuli dalam rumah hipi hasil mengayau. Dari rumah jenazah dibawa keliang, sepanjang jalan gong selalu dibunyikan dengan jenis music hulit. Untuk meletakan lungun orang hipi, maka dibuat salung (tempat meletakan lungun) yang biasanya diukir (pinyin tidak memakai salung). Jenazah hipi diliang harus ditunggu oleh 2-3 orang selain dari dipan selama 2-4 hari.

                                                      Lamanya kemihaan (pantangan) wajib jika hipi meninggal sekitar satu bulan. Lali' (adat) yang berlaku pada saat kemihaan untuk orang hipi hamper sama dengan pinyin kecuali saat hipi kemihaan semua pinyin wajib memotong rambut secukupnya.

                                                      Setelah masa kemihaan hipi maupun pinyin habis, dilaksanakan ritual mebat buling (membuang segala sial dan mengakhirisegalapantangan). Caranya adalah semua orang mandi di sungai, dan satu orang di bagian hulu merendam sebilah Mandau tua. Orang yang disuruh merendam Mandau ini biasanya adalah orang dari luar kampung. Setelah semua mandi, mereka naik kerumah, pada saat itulah gong kembali dibunyikan dengan sebagai tanda menutup adat pantangan kematian.

                                                      Jika anak bat (anakkecil yang meninggal setelah lahir dalam beberapa hari dan belum sempat diberi nama) meninggal maka cara penguburannya adalah dimasukan dalam tikar, diikat kemudian digantung di pohon kayu, atau diselipkan di cabang pohon kayu yang tinggi.

                                                      Persamaan cara pemakaman pinyin dan hipi adalah ketika jenazah disemayamkan di rumah (baik pinyin maupun hipi) masyarakat boleh bersenang-senang, seperti menari, main musik, melantunkan syair sastra dan sebagainya, sebagai tanda ungkapan kegembiraan yang terakhir kali bersama almarhum walaupun ia telah meninggal dunia.
                                                      Tata cara dan adatistiadat kematian dalam kalangan suku Kayaan di Sungai Mendalam saat ini tidak lagi seperti yang dulu. Perubahan ini terjadi karena pengaruh masuknya agama luar (Katolik terutama). Kini tata cara pemakaman umumnya seperti penguburan umumnya. Yakni dimasukkan dalam peti mati dan dikuburkan dalam tanah. D. Uyub

                                                    • Tentang, Ritual Adat dalam rangka membersihkan segala dosa dan kesalahan yang dibuat oleh Orang Dayak agar tidak mendapat kemarahan dari Yang Maha Kuasa dan alam semesta yg berupa bencana, kutukan,dll.

                                                      Ritual Ngemudaeh;

                                                      Ritual Ngemudaeh (upacara memberikan makan kepada leluhur) merupakan kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Dayak Suku Ketungau Sesaek. Suku Dayak Ketungau tersebut mendiami sebagian daerah pedalaman di wilayah Kabupaten Sekadau.
                                                      Di Kecamatan Sekadau Hilir yaitu di Kampung Selabi, Suak Bagan, Setar, Seransa, Tapang Sepati, Hulu Malas, Sei Akar, Desa Landau Kodah, Gonis Tekam dan beberapa kampung lainnya. Di Kecamatan Sekadau Hulu mereka mendiami Kampung Selalong I, Selalong II, Sejirak, Prongkan, Lamau, Natai Ubah, Natai Ucong, Bayur, Tinting Boyok, Beringin, Tebelian Mangkang dan beberapa kampung yang berada di sekitarnya dan juga di wilayah Kecamatan Belitang Hilir ada beberapa kampung.
                                                      Jika  pada saat menebas, membakar ladang atau merumput menemukan binatang utusan leluhur seperti: ular sawa, ripung, tedung, kenawang, biawak dan  anak burung yang belum tumbuh bulunya, maka keluarga yang bersangkutan harus melaksanakan hajat  dalam bentuk Ritual Ngemudaeh. Ritual  dapat dilaksanakan pada saat padi baru tumbuh sekitar 20 cm atau  pada saat entukan (memberi makan hama padi).
                                                      Jika bahan yang diperlukan belum dapat diusahakan boleh juga dilaksanakan pada musim gawai tutup tahun padi. Apabila dilaksanakan waktu entukan, ritual diadakan di tengah ladang. Jika dilaksanakan pada waktu gawai tutup tahun padi, acara dilaksanakan di samping lumbung padi.
                                                      Biasanya, jika pemilik ladang menemukan binatang utusan leluhur namun yang bersangkutan tidak melaksanakan ritual Ngemudaeh, kadang kala  anggota ke-luarga yang bersangkutan sering terkena musibah penyakit yang tidak ada  henti-hentinya. Maka ritual  Ngemudaeah  sampai saat ini tetap dilakukan oleh Suku Dayak Ketungau Sesaek.

                                                      Bahan yang Diperlukan dan Teknis Pelaksanaan
                                                      Bahan-bahan yang diperlukan untuk melaksanakan Ritual Ngemudaeh yaitu satu renti  babi  (sekitar 15 kg), 1 ekor anjing, 3 ekor ayam, 1 tempayan tuak, 7 batang lemang, 7 mangkuk beras, 7 buah tumpik (kue yang dibuat dari tepung beras), 7 buah engkitik (tepung beras yang dimasak dalam bambu sebesar kelingking tangan), tujuh buah ketupat serta 7 buah empaguk (kayu yang dibuat menyerupai manusia dibuat dari kayu kumpang). Kegunaan empaguk adalah sebagai pengganti anggota keluarga yang mendapat kiriman binatang utusan leluhur untuk dipersembahkan kepada leluhur.

                                                      Setelah bahan-bahan tadi selesai semua dimasak, kemudian disimpan dalam balai pudaeh (tempat menyimpan sesajian). Kemudian Manang Pudaeh (tukang pamang) menabur sebagian sesajian untuk memberi kabar kepada leluhur di jagat raya bahwa sesaat lagi mereka akan mengadakan ritual. Tujuan ritual yaitu memberitahukan kepada leluhur bahwa keluarga yang bersangkutan telah memberi makan binatang peliharaanNya. Kemudian si pamang mengundang dan memberitahukan kepada  binatang utusan leluhur bahwa si empunya ladang sudah memberi mereka  makan. Kemudian si pamang menyuruh binatang tersebut  supaya pulang ke tempat asal mulanya dan jangan mengganggu anggota keluarga yang mengadakan ritual tersebut.
                                                      Pada saat pelaksanaan ritual biasanya si pamang membaca mantra dan mengabarkan berita ritual tersebut kepada tujuh penjuru angin dan berbagai jenis binatang yang menjadi utusan leluhur. Selesai acara ritual,semua bahan sesajian diturunkan. Sebagian diberikan kepada pamang kemudian sebagian lagi dimakan bersama tamu-tamu yang hadir pada saat ritual.
                                                      Menurut  salah seorang pamang yang akrab dipanggil Pai Ayung dari Kampung Sei Akar, Kecamatan Sekadau Hilir, binatang utusan leluhur  datang ke ladang karena mereka  merasa lapar. Setelah diberi makan melalui acara Ritual Ngemudaeh,  biasanya mereka merasa kenyang  kemudian kembali ke tempat  asal mulanya. KR.Paulinus Kudeng

                                                      • Tentang, Ritual Adat dalam rangka Orang Dayak memohon ijin dalam setiap kegiatan perladangan dan kegiatan lainnya agar tidak mendapat kemarahan dari Yang Maha Kuasa dan alam semesta yg berupa bencana, kutukan,dll.

                                                        • Tentang, Ritual Adat dalam rangka Orang Dayak memohon kesembuhan (sakit), petunjuk (memulai suatu kegiatan), memohon kondisi cuaca (hujan,panas,dll) dll kepada Yang Maha Kuasa dan alam semesta, sebagai pemilik dan penguasa kehidupan.

                                                            

                                                           

                                                          Dayak Kantu; Ritual Mamuja/ Bayar Nazar Suku Dayak Kantuk Kapuas Hulu

                                                          Sebagaimana layaknya sub suku dayak yang ada di Kalbar. Suku dayak Kantuk juga memiliki ritual adat tersendiri. Salah satu ritual adat yang kerapkali dilaksanakan oleh suku dayak Kantuk Desa Jelemuk Kecamatan Manday Kapuas Hulu, adalah ritual mamuja. Ritual ini dimaksudkan untuk meminta keselamatan kepada roh leluhur, saat akan melakukan kegiatan disebuah tempat yang baru. Misalnya jika akan membangun pemukiman pada lokasi baru (bekas hutan).

                                                          Sebelum melaksanakan ritual, ketua adat terlebih dahulu mempersiapkan berbagai persyaratannya. Seperti hewan kurban (babi, dan ayam kampung), telur ayam, beras ketan tiga warna (hitam, putih dan merah), jawak (sejenis padi halus), beras putih dan kuning, lingkau lesit (jagung halus), serta kelapa. Termasuk dalam persyaratan ritual Mamuja ini adalah seperangkat peralatan menyirih, tembakau, kopi, rokok daun nipah, dan air utai (sejenis tuak yang terbuat dari beras ketan).

                                                          Hewan kurban (babi dan ayam), diambil kepala, hati, kaki, serta jeroannya (organ tubuh bagian dalam). Sedangkan telur direbus. Dulunya hanya dipergunakan telur ayam kampung saja, tapi sekarang ini diperbolehkan mempergunakan telur ayam ras. Beras ketan tiga warna (hitam, merah dan putih) dimasak dengan cara dibuat lemang. Hal yang sama juga dilakukan pada jawak dan lingkau lesit, yakni dijadikan lemang (dimasak didalam bambu).

                                                          Setelah semua persyaratan selesai diolah, lantas diletakkan didalam sebuah kelingkang (sebuah tempat terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat). Sambil meletakkan semua sesaji yang merupakan persyaratan ritual memuja, kepala adat membacakan jampi-jampi. Barulah kemudian semua persyaratan yang ditaruh dalam kelingkang tersebut diletakkan dengan cara digantung pada tempat yang dianggap keramat oleh kepala adat.

                                                          Sebelum digantung pada tempat yang dikeramatkan, terlebih dahulu dilakukan upacara adat yang dilaksanakan ditempat terbuka (biasanya dilaksanakan dilapangan). Pelaksanaan upacara adat mamuja ini dimulai dengan ditaburkannya beras kuning sebanyak tujuh kali. Penaburan beras kuning ini sendiri juga disertai dengan pembacaan mantra-mantra.

                                                          Seperti pelaksanaan upacara adat lainnya, ritual ini juga memiliki beberapa pantangan yang harus dipenuhi oleh sang pemilik hajat (orang yang akan menempati tempat yang baru). Yakni selama tiga hari setelah upacara adat mamuja dilaksanakan. Sang pemilik hajat tidak diperbolehkan pergi tempat keramat dimana kelingkang digantung.

                                                          Poligon AL,51, Kades Jelemuk yang juga merupakan salah satu tokoh masyarakat dayak Kantuk menerangkan jika ritual mamuja ini masih sering dilaksanakan hingga kini. Terutama jika ada proyek pembangunan yang bertempat dilokasi baru. “Biasanya sebelum melaksanakan kegiatan proyek seperti pembangunan jembatan misalnya, kita terlebih dahulu melakukan ritual mamuja ini,” terangnya kepada KR.

                                                          Menurutnya lagi, ritual ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dayak Kantuk yang ada di Kecamatan Manday saja. Tapi juga sering dilakukan oleh masyarakat dayak Kantuk di seluruh Kapuas Hulu. “Bahkan masyarakat dayak Kantuk yang berdomisili di Malaysia pun, juga kerap kali melaksanakan upacara adat ini,” kata Poligon. Khaliqien.Z,  Lex

                                                          • Tentang, Ritual Adat dalam rangka Orang Dayak bersyukur atas terselenggaranya suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik (panen-berladang, sembuh dari sakit, melahirkan dengan lancar,dll) kepada Yang Maha Kuasa dan alam semesta.

                                                          • Tentang,kumpulan mantra-mantra yang digunakan dalam ritual adat.

                                                            • Tentang, tempat atau lokasi yang biasa digunakan Orang Dayak untuk melakukan pemujaan dan ritual adat.

                                                              • Tentang, tempat atau lokasi yang biasa digunakan Orang Dayak untuk melakukan pertapaan.

                                                              Collapse
                                                              Kalender
                                                              Peta Sub Suku dan Bahasa Dayak

                                                              Institut Dayakologi atau ID (semula bernama institute of Dayakologi Research and Development - IDRD) adalah organisasi non pemerintah yang melakukan usaha-usaha revitalisasi dan restitusi indentitas budaya Dayak. ID didirikan sebagai respon Masyarakat Adat Dayak terhadap berbagai persoalan dan tantangan akibat pembangunan dan faktor-faktor lain yang menghancurkan sendi-sendi Kebudayaan Dayak serta hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumber daya alam. Bidang budaya menjadi perhatian utama ID karena hal itu berhubungan langsung dengan identitas dan jati diri orang Dayak. Dalam sejarah berdirinya, keprihatinan terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi pendidikan dan politik Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat, mendorong sekelompok anak muda yang berpikir kritis untuk mendirikan sebuah lembaga yang secara khusus mengkaji Kebudayaan Dayak.

                                                              Success! You've been added to our email list.

                                                              Link Terkait

                                                              • Institut Dayakologi
                                                              • Kalimantan Review
                                                              • Pusat Advokasi dan Transformasi Kebudayaan Dayak

                                                              Kontak

                                                              • Alamat: Jl. Budi Utomo, Blok A3 No. 2-4, Pontianak

                                                              • Telephone: (0561) 884567 / Fax: (0561) 883135

                                                              • Email: institut@dayakologi.id

                                                              Ikuti Kami

                                                              Porto Website Template

                                                              © Copyright 2017. Hak Cipta Institut Dayakologi.